Batik(Shutterstock) |
Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 2 Oktober diperingati sebagai Hari Batik Nasional. Peringatan Hari Batik Nasional biasanya ditandai dengan instansi pemerintahan atau swasta mewajibkan pegawainya untuk memakai baju batik.
Baca juga: Juragan Aqiqah
Bagaimana
sejarah penetapan 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional?
Pada 2
Oktober 2009 atau 11 tahun yang lalu, batik ditetapkan sebagai daftar
Intangible Cultural Heritage (ICH) UNESCO atau Warisan Budaya Takbenda (WBTb)
pada sidang UNESCO di Abu Dhabi. Penetapan itu merupakan yang ketiga kalinya
bagi Indonesia setelah keris dan wayang yang terlebih dahulu masuk daftar ICH
UNESCO. Pada naskah yang disampaikan ke UNESCO, dikutip dari laman resmi
Kemendikbud, batik diartikan sebagai teknik menghias yang mengandung nilai,
makna, dan simbol budaya. Dari 76 seni dan budaya warisan dunia yang diakui UNESCO,
Indonesia hanya menyumbangkan satu, sedangkan China 21 dan Jepang 13 warisan.
Baca juga: Batik Diklaim China, 2009 UNESCO Catat sebagai Warisan Budaya
Indonesia Proses penetapannya pun terbilang cepat karena Indonesia
mengajukannya ke UNESCO pada September 2008. Pada Januari 2009, UNESCO menerima
pendaftaran tersebut secara resmi dan dilakukan pengujian tertutup di Paris
pada Mei di tahun yang sama. Dari lima domain penilaian, batik memenuhi tiga
domain, yaitu tradisi dan ekspresi lisan, kebiasaan sosial dan adat istiadat
masyarakat ritus, perayaan-perayaan, serta kemahiran kerajinan tradisional.
Baca juga: Juragan Aqiqah
Kota Solo identik dengan dua hal, yaitu wisata kuliner dan
batik. Kini, kota jantung budaya Jawa di Jawa Tengah itu siap menerima
wisatawan, setelah wabah Covid-19 menunjukkan tren mendatar.
Ketua Badan Promosi Pariwisata Kota
Surakarta Bendoro Raden Mas (BRM) Bambang Irawan menyebut pendorong utama
wisatawan ketika menyambangi Kota Solo, pertama adalah karena ingin berburu
batik.
Hal ini berdasarkan data riset yang
diperolehnya pada tahun 2012 silam tentang faktor di balik banyaknya kedatangan
wisatan ke Kota Solo. Bambang pun membeberkan bagaimana sejarah batik Solo
bertumbuh hingga menjadi maskot kerajinan utama Kota Bengawan itu.
“Kota Solo ini di pertengahan abad 19 sudah
menjadi pusat industri batik nasional, jadi sejarah batik di Solo memang sangat
panjang,” ujar Bambang.
Dengan sejarah industri batik yang panjang itulah,
sampai saat ini Kota Solo memiliki sejumlah kampung batik tersohor seperti
Laweyan, Sondakan, dan Kauman. Popularitas batik Solo juga didukung sentra
penjualannya, yang juga jadi objek wisata, seperti Pasar Klewer serta galeri
milik perusahaan batik tulis terkemuka semisal Danarhadi dan Batik Keris.
Baca juga: Juragan Aqiqah
Namun uniknya, ujar Bambang, Solo tidak
sekedar menjadi pusat produksi batik atau ladang bisnis jual beli batik. Konsep
wisata berbasis batik pun digagas dan bertumbuh saat ini.
“Kalau wisatawan pergi ke Solo, pagi hari dia
bisa pergi ke kampung batik untuk membatik motif yang disukainya, lalu
ditinggal keliling-keling kota, saat sore hari motif batik buatan wisatawan itu
sudah jadi untuk oleh-oleh,” ujarnya.
“Kalau mau motif batik yang dibuat itu dijahit
dan jadi baju, besoknya bisa diambil dan langsung dipakai. Jadi kampung-kampung
batik di Solo ini menyediakan proses dari hulu sampai hilir bisa dinikmati
wisatawan,” Bambang menambahkan.
Pria yang masih mengajar di Universitas Negeri
Sebelas Maret Solo itu, menuturkan
keunikan pelaku industri batik di Solo. Menurutnya, mereka menempatkan batik
tidak hanya hasil akhirnya saja, namun juga proses pembuatannya.
“Makanya bagaimana batik itu diproses sampai
jadi bisa disaksikan wisatawan dan dilakukan mereka sendiri,” ujar Bambang.
Bambang menuturkan batik Solo memang memiliki
kekhasan. Karena dulu industri itu didukung penuh proses pengembangannya oleh
pusat pemerintahan yakni Keraton Surakarta. Sehingga mulai desain, inovasi, dan
kreativitas bisa terawasi, sangat beragam dan menarik.
Rentang harga batik di Solo pun disebut murah
dan terjangkau. Mulai Rp 30.000 hingga ada yang sampai Rp 5 juta, “Kampung
batik di Solo pasca pandemi ini juga sudah siap menerima wisatawan,” ujar
Bambang yang merupakan cucu dari Raja Keraton Solo, Pakubuwono X itu.
Bambang menuturkan tak butuh biaya yang
besar bagi wisatawan untuk melancong ke Solo. Tren wisatawan beberapa tahun
terakhir juga sudah mulai bergeser.
Baca juga: Juragan Aqiqah
Pelancong tak lagi menggunakan akomodasi
berbiaya besar, tapi memilih paket-paket ekonomis. Tak lagi menginap harus di
hotel namun bisa juga menginap di homestay-homestay dan rumah sewa yang
harganya juga relatif lebih murah. Mereka bisa berinteraksi dengan warga
sekitar, dan berdekatan dengan destinasi khusus di Solo.
Bahkan kini bagi para backpacker yang ke Solo,
bisa menyewa sepeda onthel untuk menyambangi rumah rumah legendaris para mantan
juragan batik, mantan pangeran Solo dan Mangkunegaran, yang masih terawat
secara baik.
“Tidak harus sarapan di hotel, wisatawan saat
mau bersepeda bisa sarapan di warung tengkleng, nasi liwet atau kuliner lain
khas yang enak dan menarik,” ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar